Sepatu Pantofel :Sekolah, Oh Sekolah

Gambar oleh www.tempo.co
Setelah beberapa hari Acil tidak mau pergi ke sekolah, hari ini dia berinisiatif sendiri untuk pergi ke sekolah. Katanya ia sudah tertinggal pelajaran terlalu banyak. Cie elah, sudah seperti siswa sungguhan tingkahnya. Aku hanya bisa tersenyum melihat dia mandi pagi-pagi, lalu bergegas mengambil buku catatan sisa sewaktu aku masih SD dulu, mencium tanganku dan memanggil salam, lalu pergi ke SDN Kamal 1.
“Kak, Acil berangkat dulu ya. Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam warahmatullah. Belajar yang baik ya… maaf kakak belum bisa mendaftarkan kamu sekolah. Kakak masih mengumpulkan uang buat beliin kamu seragam, buku, dan sebagainya,” kataku sambil mengusap-ngusap kepala Acil.


“Iya kak. Nanti kalau kakak sudah punya banyak uang, baru Acil sekolah.”
“Oke. Sana berangkat.”
Acil berangkat dengan pensil dan buku catatan di tangannya. Sebelum dia mencuri belajar di SDN Kamal 1, dia sudah punya keterampilan dasar membaca dan menulis. Jadi dia dapat dengan mudah menerima pelajaran. Tentu aku yang mengajarinya. Biar putus sekolah begini, dulu aku pernah menjadi siswa terbaik sewaktu SD. Sayang, sejak kepergian Bapak dan Ibu, waktu itu aku masih kelas 3 di SDN Kamal 1, aku menjadi tidak fokus belajar. Perhatianku terpecah antara merawat Acil yang baru berumur 6 bulan, bekerja mencari nafkah, dan sekolah.
Makanya, lulus dari SD aku tidak melanjutkan ke SMP/ MTs. Tidak seperti teman-temanku yang lain, ada yang berangkat mondok lalu bersekolah di pondoknya, Ada yang masuk SMP di kota, ada pula yang masuk MTs. di sekitar sini. Aku sendiri fokus merawat Acil dan mencari uang demi penghidupan kami berdua.
Mungkin kalau aku pernah punya cita-cita – dan sayangnya belum sempat ku pikirkan kelak akan menjadi apa hingga kedua orang tuaku meninggal – biar lah Acil yang melanjutkannya. Seandainya aku masih sekolah, mungkin aku sudah kelas 1 SMA. Tapi untuk apa berandai-andai. Aku hidup sekarang, bukan nanti. Jadi, sekarang aku harus bekerja keras agar bisa menyekolahkan Acil.
Pagi ini aku bekerja menyemir sepatu seperti biasa. Pulang sore tatkala mentari senja menghiasi alam Madura. Sesampainya di rumah, biasanya Acil sudah makan siang. Setiap pagi aku selalu memasak untuk Acil.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…” jawab Acil parau. Matanya juga bengkak, tidak seperti biasanya.
“Kamu kenapa Cil ?  Kok kayaknya habis nangis gitu ?”
“Aku pengen sekolah kak. Pokoknya aku pengen sekolah”
“Kamu kenapa kok tiba-tiba maksa ingin sekolah gini. Bukannya tadi pagi masih mau nunggu kakak sampai punya uang yang cukup. Ini pake acara nangis segala lagi. Ada apa ? coba cerita sama kakak…”
“Aku tadi diejek sama anak sekolahan sekitar sini yang mengenalku. Gara-gara aku sendiri di sini yang tidak sekolah,” Acil bercerita terbata-bata.
“Lalu kamu jawab gimana ?”
“Aku gak jawab kak. Aku hanya dia, terus nangis.”
“Hmm, kamu ini. Ya sudah begini saja, nanti kalau udah masa penerimaan siswa baru, kakak janji akan mendaftarkan kamu di SDN Kamal 1. Gimana ?”
“O ya, benar ? Janji ya…” katanya sambil menjulurkan kelingkingnya.
“Iya. Kakak janji,” jawabku sambil menjulurkan kelingkingku dan mengaitkannya ke kelingking Acil. Aku mengikat janji.
Acil senang bukan kepalang. Dia menghapus sisa-sisa air matanya dan meloncat-loncat kegirangan.
“Acil sudah makan belum ?”
“Belum, he…”
“Ayo makan dulu…”
Kami pun menuju dapur. Aku menyiapkan makanan siang untuk kami berdua. Acil duduk manis di Lencak dapur. Setelah makanan siap, kami makan berdua. Acil makan dengan lahap. Ia mengambil separuh sayur bayam yang ada dan menghabiskannya dalam waktu sekejab.
Aku menatapnya lekat. Senang melihat keceriaan pada wajah Acil. Dia melirikku, tapi sekilas. Lalu melanjutkan melahap makanannya. Sejenak aku teringat dengan janjiku pada Acil tadi. Pikiranku menjadi kalut dan khawatir. Khawatir tidak bisa memenuhi janjiku. Musim penerimaan siswa baru aku perkirakan tinggal 2 bulan. Sedangkan tabunganku belum cukup untuk sekadar membeli tas dan seragam untuk Acil, belum lagi sepatu dan buku-buku. Memang, SDN Kamal 1 menyediakan sekolah gratis untuk semua siswa. Tapi bukankah aku juga harus mempersiapkan segalanya. Buku pelajaran, buku tulis, belum lagi sumbangan yang tidak masuk pada pembiayaan sekolah.
Aku perkirakan, untuk membeli seragam, tas, sepatu dan buku-buku saja harus mempersiapkan uang sebesar 400 ribu. Sedangkan tabunganku baru mencapai 200 ribu. Dalam waktu kurang dari dua bulan, bagaimana caranya aku mengumpulkan uang sebanyak itu. Pengahasilanku dari menyemir sepatu padahal tidak menentu. Kalau sedang ada rejeki, bisa mencapai 50 ribu dalam sehari. Tapi frekuensinya sangat bisa dihitung. Kadang juga tidak memperoleh uang sama sekali. Paling sering, dapat uang Cuma10-15 ribu. Belum lagi untuk kebutuhan sehari-hari dan bayar listrik.
Aku terkejut dari lamunanku. Acil mengadukan sendok dengan piringnya melihat aku melamun.
“Acil udah selesai ?”
“Alhamdulillah…” ucapnya. “Kakak kenapa melamun ?”
“Yee, siapa yang melamun. Kakak cuma lagi berpikir.”
“Mikirin apa memang ?”
“Mau tahu aja. Urusan pribadi.”
“Haha, urusan pribadi. Emang urusan pribadi itu seperti apa kak ?” besarnya rasa ingin tahu Acil kambuh.
“Seperti kamu yang selalu ingin tahu,” jawabku tersenyum sambil melahap sisa makanan di piringku.
“Memang itu ya jawabannya ?”
“Ya bukan Acil. Sudah, kakak mau lanjut makan dulu. Kamu mandi sana. Sudah sore.”
“Siap kak,” ucapnya sambil meniru anak-anak yang sedang hormat saat upacara.
“Jangan lupa gosok gigi,”
“Iya kak,” sambil nyengir memperlihatkan gigi depannya yang baru tumbuh usai dicabut.
Aku adalah kakak yang sangat memperhatikan kesehatan dan kebersihan. Sejak kecil, aku membiasakan Acil agar sikat gigi setiap mandi dan sebelum tidur. Aku juga mencabut gigi susu Acil sejak umurnya masuk 7  tahun ini. Seperti yang dulu dilakukan Ibu padaku.
Posisiku sebagai ibu, bapak, kakak, guru dan sekaligus teman bagi Acil. Saat aku merawat dan memperhatikannya, disitu lah aku memposisikan diri sebagai ibu. Saat aku harus bekerja keras keliling pelabuhan, nyebrang Kamal-Perak demi memperoleh sepeser uang, saat itu aku adalah ayah bagi Acil. Saat aku memanjakan Acil, di situ aku sebagai kakaknya. Dan saat aku menemaninya bermain – meski sebetulnya aku masih suka bermain – saat itu aku adalah teman terbaik Acil. Pantas saja kalau Acil selama ini tidak pernah punya teman. Karena bermain pun, ia selalu bersamaku.
Dan saat aku membimbingnya belajar membaca, menulis, mengaji setiap maghrib, aku adalah guru bagi Acil. Meski dia tidak pernah ku ajari bagaimana cara menghormati guru, ku kira dia cukup menghormatiku.
Dan selesai mencuci piring, mentari telah menjadi kemerahan. Aku segera mandi dan shalat ashar. Usai shalat, kebiasaanku adalah mengaji. Mungkin kata teman-teman seusiaku sekarang, sudah bukan saatnya lagi bagi kami untuk mengaji. Tapi, masalahnya, tidak ada yang bisa ku kirimkan ke kedua orang tuaku di alam kubur sana. Tak pernah ada 7 harian, 40 harian, 100 harian, tahunan, dan 1000 harian untuk memperingati kematian orang tuaku seperti layaknya orang yang telah mati di daerah ini.
Juga tak ada kiriman fatihah seperti yang dilafadhkan ustadz-ustadz di sekitar sini untuk orang tuaku. Karena kedua orang tuaku belum sempat mengajarinya. Hanya ada do’a dan bacaan Al-Qur’an yang setiap hari ku kirimkan pada mereka. Entah sampai pada mereka apa tidak. Yang jelas do’a dan bacaan Al-Qur’an yang ku kirimkan tak pernah kembali.
Adzan maghrib, aku memanggil Acil yang masih berkutat dengan buku bekas di kamar.
“Acil, ayo berangkat ke Mushalla. Sudah adzan.”
“Iy sebentar kakak. Ini masih membereskan bukunya.”
Beberapa saat setelahnya, kami pun berangkat berjalan kaki. Mukena Acil yang aku belikan dua tahun lalu ternyata masih cukup bagus. Warna putihnya tidak terlaliu kusam. Cuma mungkin kalau 2 atau 3 tahun lagi, mukena itu sudah kekecilan untuk Acil.
Setiba di masjid, Ustadz Alif baru menaiki emperan masjid.
“Eh, Fitri sama Arif sudah nyampe.”
“Assalamu’alaikum ustadz…”
“Wa’alaikum salam…”
Kami berdua bersalaman ke Ustadz Alif. Beliau menyambut tangan kami dan tersenyum ramah.
Usai shalat maghrib berjamaah di Mushalla At-Taufiq, kami mengaji kepada Ustadz Alif. Untuk santri ngaji putri mengaji ke Ny. Naisah, istri Ustadz Alif. Belajar membaca Al-Qur’an kami lakukan hingga menjelang adzan Isya’. Aku sendiri adalah santri paling tua di sini. Di bawahku, anak-anak usia SMP kelas 1. Lewat dari usia itu, biasanya anak-anak daerah sini akan malu mengaji ke Masjid atau Mushalla. Bahkan tak jarang dari mereka yang berhenti total dengan alasan sudah mahir mengaji.
Sebagai santri tertua, aku sambil lalu membantu Ustadz Alif mengajar ngaji. Memang cara mengajiku tidak sebagus cara mengaji Ustadz Alif yang tahfidz dan alumni pesantren tahfidz di Madura. Tapi setidaknya aku cukup paham bagaimana membaca Al-Qur’an dengan tajwid.
 Usai shalat isya’, biasanya Ustadz Alif mengajarkan kami materi-materi Fiqih, Akhlak, dan Tauhid. Ia menggunakan kitab klasik layaknya di pesantren-pesantren. Cuma, bukan kitab kuning yang tidak ada harokat dan artinya. Kitab yang digunakan Ustadz Alif adalah kitab dengan terjemahan lengkap dengan harokatnya. Sebagian santri yang memiliki uang yang cukup, juga mempunyai kitab. Atau mereka yang sekolah di Madrasah Diniyah. Aku ? hanya mendengar dengan seksama. Jika ada yang perlu dicatat, aku mencatatnya setelah tiba di rumah. Seperti itu lah aktifitas kami hingga pukul 08.00 malam.
Dan malam telah gelap. Bulan yang masih berusia muda dengan cepat tenggelam. Acil sudah tidur di ranjang sebelah. Aku masih menghitung tabunganku yang ku simpan di bagian bawah kotak menyemirku.  Hah, baru 115 ribu. Aku harus bekerja lebih keras dalam waktu 2 bulan ini. Acil harus sekolah. Dia tidak boleh seperti aku. Untungnya, sekolah dasar di sini hampir tidak ada biaya. Hanya harus membeli seragam dan buku sendiri.
***
Pagi ini sangat cerah. Musim kemarau telah berusia 3 bulan. Sempat dua atau tiga kali turun hujan, berkah di musim kemarau. Dan hari ini sekaligus hari yang cukup melegakan bagiku. Tabunganku sudah mencapai 500 ribu. Setelah banting tulang menyemir sepatu, mencari penghasilan tambahan sebagai kuli angkut barang di pelabuhan, dan mencari bekicot untuk dijual ke produsen kripik, aku bisa mengumpulkan uang yang lebih cari cukup untuk menyekolahkan Acil.
Hari ini aku mengajak Acil pergi membeli peralatan sekolah ke pasar wisata Ki Lemah Duwur, Bangkalan. Sekalian jalan-jalan. Sejak kepergian Bapak dan Ibu, kami tidak pernah pergi kemana-mana.
Mungkin aku dikatakan orang udik. Uang 500 ribu hasil tabunganku aku simpan di kantong celana pendek, di luarnya masih dilapisi celana panjang. Aku tidak mau rencana menyekolahkan Acil gagal hanya karena uang yang seadanya ini raib terkena copet. Maklum lah. Aku tidak pernah keluar dari daerah sekitar sini. Apalagi dengan membawa uang, yang untuk ukuranku cukup banyak. Jadi aku harus ekstra hati0hati. Dulu, kalau mau ke kota, bapak suka menyimpan uangnya di saku celana. Di luar ia memakai sarung. Sehingga kalau ada orang yang berniat mencopet uang bapak, akan sulit. Dan aku memperlajari cara menyimpan uang seperti ini dari bapak.
Kami berangkat ke pasar Ki Lemah Duwur. Tak sampai tengah hari, acara belanja keperluan sekolah Acil sudah selesai. Tas, sepatu, buku tulis, seragam merah putih dan pramuka, lengkap dengan aksesoris seperti dasi dan topi. Uang masih tersisa 45 ribu setelah membayar ongkos dan jajanan pasar.
Sisa uang itu aku kembalikan ke persemayamannya. Bagian bawah kotak menyemir.
Aku tersenyum senang. Acil akan ku daftarkan di SDN Kamal 1, besok. Besok baru hari pertama pendaftaran.
Esoknya aku pergi ke SDN Kamal 1 bersama Acil. Menemui kepala sekolah, yang sudah hampir 10 tahun menjabat kepala sekolah di sini.
“Assalamu’alaikum pak…”
“Wa’alaikum salam,” Pak Suharsono menjawab. Berbarengan dengan bapak-bapak yang satunya.
“Ada keperluan apa ini ?”
“Ini pak. Saya mau mendaftarkan adik saya untuk sekolah di sini.”
“Orang tua kalian mana ? Kok ini anak-anak semua.”
“Orang tua kami tidak bisa mengantar Pak. Jadi saya yang mewakili.”
“Oh, iya tidak apa-apa. Silakan duduk. Pak Mannan, tolong layani mereka.”
“Ini kan… adik kamu ini kan yang sering mencuri-curi belajar di sekolah ini ?”
“Iya pak. Dia juga cerita kalau pernah tertangkap basah oleh salah satu guru.”
“Alhamdulillah kalau akhirnya dia bisa sekolah. Bapak yakin, kalau melihat dari semangatnya untuk belajar, dia akan menjadi siswa yang berprestasi di sini.”
“Amien. Semuga saja begitu Pak.”
Aku dan Acil duduk di depan meja kepala sekolah. Saat itu, sekolah sedang sepi. Sedang liburan akhir tahun.
Bapak-bapak yang tadi dipanggil Pak Mannan oleh kepala sekolah tadi menyodorkan kertas kepadaku.
“Silakan diisi dik.”
“Ini apa Pak ?” tanyaku tak mengerti
“Itu formulir dik.”
“Oh, perasaan dulu tidak ada yang seperti ini.”
“Tunggu… dulu ? berarti kamu dulu siswa di sini ?”
“Iya pak. Saya Arif. Lulus sekitar 4 tahun yang lalu”
“Arif ? Lulus 4 tahun yang lalu. Arif… yang anaknya jago menggambar itu kan ya ? Yang pernah menjuarai lomba karikatur tingkat SD se-provinsi ?”
“Iya pak. Kok Bapak masih ingat ?”
“Bapak ini akan selalu ingat kamu Rif. Apalagi saat kamu menangis minta pulang, ketika bersama Bapak menghadiri malam puncak festival anak Jatim di Surabaya itu.”
“Wah, berarti kakak dulu murid yang pinter ya…” ucap Acil bangga.
“Pinternya kalo menggambar aja. Yang lain nggak. Hehe.”
“Sekarang kamu sekolah dimana Rif ? Berarti sudah kelas 1 SMA ya…”
“Seharusnya begitu Pak. Tapi, Bapak tau sendiri kan ?”
“Ya ya. Sejak kepergian orang tua kalian, kamu jadi sering telat ke sekolah. Bahkan sering tidak masuk”
“Saya harus merawat adik saya ini pak.”
“Ya ya. Kalau kamu putus sekolah, usahakan adikmu yang mengejar mimpi-mimpimu. Jangan biarkan dia putus sekolah Rif.”
“Iya pak. Terimakasih atas nasehatnya.” jawabku tersenyum mengenang masa-masa sekolah dulu.
Aku melanjutkan mengisi formulir di hadapanku. Acil hanya menoleh ke kanan kiri bergantian antara aku dan kepala sekolah. Dia manggut-manggut seperti mengerti obrolan kami saja.
“Hari pertama masuk sekolah kapan pak ?”
“Tanggal 11 Juni Rif”
“Ya Pak. Kalau semuanya sudah kami pamit pulang Pak. Dan InsyaAllah di tanggal 11 saya ke sini untuk mengantar Acil.”
“Ya ya... silakan”
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam warahmatullah”
Kami pulang dari sekolah. Acil berlarian sambil loncat-loncat kegirangan.
“Hore… Acil bisa sekolah.”
“Jangan Cuma senang. Kalau sudah sekolah, Acil harus belajar lebih giat lagi”
“Pasti kak. Kan Acil sekolah untuk belajar,” jawabnya sambil tersenyum kegirangan.
***
Embun belum berhenti menetes dari langit. Menyisakan tetesan-tetesan air di petalangan. Subuh sudah setengah jam berlalu. Ayam beserta anak-anaknya sudah mulai berkeliaran di halaman rumah. Tapi, bumi masih tampak sepi dari aktifitas manusia. Alam masih remang-remang. Manusia masih kalah oleh ayam.
Dan, 11 Juni pun tiba. Pagi ini, Acil mandi pagi-pagi sekali. Pukul 06.00 dia telah siap berangkat sekolah saat aku belum selesai memasak. Baju merah putih berhias dasi di dadanya, sepatu hitam dengan kaos kaki putih, dan tas ransel kecil di punggungnya. Tapi, rambutnya masih berantakan. Dia masih belum bisa mengikat rambutnya sendiri. Aku membantunya menguncir rambutnya agar terlihat lebih rapi.
“Kak, gimana ? Acil cantik gak ?”
“Haha, kecil-kecil sudah belajar centil. Tapi, Acil emang paling cantik kok.”
“Masa’ ?”
“Iya. Kan di sini cuman ada Acil sama kakak. Masa’ iya kakak yang paling cantik.”
“Ih. Kakak,” jawabnya cemberut.
“O ya, kakak belum selesai masak ini. Setengah jam lagi mungkin. Jadi kamu duduk manis dulu di sini. Kakak mau balik ke dapur dulu.”
“Iya. Acil duduk di sini ya. Tapi jangan kelamaan kak. Acil udah gak sabar pergi ke sekolah.”
“Y ya. Tenang. Lagipula, jam segini sekolah masih sepi.”
“Hehe,” Acil nyengir memperlihatkan giginya yang ompong.
Aku kembali ke dapur. Nasi sudah matang, tinggal mendadar telur dan memasak sayur. Hanya butuh waktu beberapa menit, sarapan kami berdua pagi ini sudah siap. Nasi putih dengan telor dadar dan sayur bayam, menu langganan sarapan kami.
Pagi ini, Acil hanya makan sedikit. Aku harus memaksanya dengan menambah nasi di piringnya. Maklum saja, dia terlalu senang karena hari ini adalah hari pertama masuk sekolah. Hingga porsi makannya berkurang dari biasanya. Aku dulu juga begitu. Saat hendak berangkat ke Surabaya untuk menghadiri malam puncak festival anak, aku senang bukan kepalang. Hingga malamnya, aku sulit tidur. Tapi sesampainya di Surabaya, aku malah tidak betah dan ingin pulang.
Pukul 06.30, aku berangkat mengantar Acil ke sekolah. Hari ini adalah hari pertamanya sekolah. Baju baru, teman baru, ilmu baru, dan pengalaman baru bagi Acil. Aku berharap dia betah di sekolah dan mendapat teman-teman yang baik. Aku mengantar Acil sambil membawa kotak menyemirku. Dari mengantar Acil aku akan langsung berangkat ke pelabuhan.
Usai mengantar Acil dan bertemu kepala sekolah, aku langsung berangkat menuju pelabuhan. Saat aku melintas di jalan menuju pelabuhan, aku berpapasan dengan teman lamaku, temanku sewaktu SD, Haris. Dia berseragam putih abu-abu. Dia tiba-tiba menyapaku.
“Arif. Apa kabar ?”
“Yah, begini lah,” jawabku lesu
“Gak apa-apa Rif. Yang penting kita bahagia menjalani hidup,” ucapnya menyemangatiku.
“Kamu enak Ris, bisa melanjutkan sekolah, syukur-syukur, nanti bisa kuliah.”
“Perjalanan kita tak ada yang tahu Rif. Sekolah bukan satu-satuya jalan kesuksesan Rif. Kita sama-sama belum tahu. Ya sudah, aku berangkat sekolah dulu ya Rif.”
“Ya Ris. Hati-hati.”
Haris tersenyum dan melambai kepadaku. Harapanku untuk bisa sekolah seperti muncul kembali, kemudian berlari meninggalkanku. Seperti senyum Haris yang lambat laun menghilang bersama langkahnya. Dalam lubuk hatiku, aku masih menyimpan harapan untuk bisa kembali bersekolah. Seperti teman-temanku yang lain. Bisa ikut bosan dalam rutinitas pelajaran di kelas. Atau bisa sedikit ikut dalam lagak sok-sokan teman-teman remaja kebanyakan. Atau bisa memakai seragam putih abu-abu seperti Haris, temanku tadi. Atau…

Sayangnya – lagi-lagi – aku belum sempat memiliki cita-cita. Cita-citaku sampai saat ini, dan hingga kini belum tercapai adalah “AKU INGIN MEMILIKI CITA-CITA”. Tapi, cita-cita macam apa yang dimiliki seorang tukang semir sepatu keliling di pelabuhan ?

0 Response to "Sepatu Pantofel :Sekolah, Oh Sekolah"

Posting Komentar